BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anemia
merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia,
di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility)
yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta
kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering , anemia,
terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para
dokter di praktek klinik. Sementara itu,
prevalensi anemia
pada anak prasekolah di Indonesia, menurut Word Health Organisation (WHO) pada
tahun 1993-2005 di dapati sekitar 44,4 %.
Menurut data
dari WHO yang dikeluarkan sekitar tahun 1993-2005, prevalensi anemia pada anak
usia pra sekolah ( 0-5 tahun ) adalah sebesar 47.4% sedangkan di Asia Tenggara
mencapai 65.5% yaitu sekitar 115.3 juta anak menderita anemia. Hal ini
merupakan angka yang cukup besar, karena jika mengacu pada data WHO, maka lebih
dari setengah anak usia pra sekolah di Asia Tenggara termasuk Indonesia,
terkena anemia. Maka lumayan tinggi pula kejadian dan angka anemia bayi dan
anak di Indonesia ini.
Sementara
itu, kebanyakan anemia pada anak adalah anemia karena kekurangan zat
besi atau iron deficiency anemia. Penyebab umumnya adalah pola defisiensi
salah satu zat gizi.. Anemia lainnya adalah anemia karena perdarahan, anemia
karena mengalami gangguan pada
sumsum
tulang dimana sumsum tulang tidak memproduksi sel-sel darah dengan baik dan penyebabnya
bermacam-macam, seperti menderita suatu penyakit keganasan atau kanker, leukemia.
Menurut WHO (World Health Organization) anemia pada anak
bisa berdampak kepada terganggunya pertumbuhan serta perkembangan anak
tersebut. Hal ini karena aktirifas yang dibutuhkan dalam tahap perkembangan
serta pertumbuhannya tidak terpenuhi dengan baik karena energi tubuhnya yang
berkurang dan berbeda dengan anak seusianya yang tidak mendapat anemia. Anemia
pada anak bisa menyebabkan daya tangkap sang anak yang berkurang sehingga
mengakibatkan menurunnya tingkat intelegensia anak dan kurang bergairah dalam melakukan
aktivitas seperti anak pada umumnya. Dan tentunya pula akan berpengaruh kepada
tingkat kesehatan pada anak-anak.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
tentang asuhan keperawatan pada anak dengan anemia.
1.2.2 Tujuan khusus
1.2.2.1
Dapat mengetahui dan memahami Pengertian
dari Anemia
1.2.2.2
Dapat mengetahui dan memahami Etiologi dari anemia
1.2.2.3
Dapat mengetahui dan memahami
Klasifikasi
1.2.2.4
Dapat mengetahui dan memahami
Patofisiologi
1.2.2.5
Dapat mengetahui dan memahami
Manifestasi
1.2.2.6
Dapat mengetahui Pemeriksaan
penunjang
1.2.2.7
Dapat mengetahui Komplikasi
1.2.2.8
Dapat mengetahui Penatalaksanaan
1.2.2.9 Dapat mengetahui dan mampu membuat Asuhan
Keperawatan pada Anak dengan Anemia
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian
Anemia adalah
berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1 mm3 darah atau
berkurangnya volume sel yang didapatkan
(packed red cells volume)
dalam 100 ml darah (Ngastia, 2005:359). Eritrosit normal pada anak 3.6-4.8 juta sel/mm3 dan nilai
hemoglobin normal pada anak adalah 11-16 gram/dL.
Anemia adalah
kondisi dimana jumlah sel darah merah dan/atau konsentrasi hemoglobin turun di
bawah normal (Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, 2003:536)
Anemia adalah penurunan
volume
eritrosit kadar HB sampai di
bawah rentang nilai-nilai yang berlaku untuk orang sehat (Nelson, 2000: 1680). Derajat Anemia menurut
WHO :
Derajat
|
WHO
|
Derajat
0 (nilai normal)
Derajat
1 (ringan)
Derajat
2 (sedang)
Derajat
3 (berat)
Derajat
4 (mengancam jiwa)
|
≥11 g/dl
9.5-10.9 g/dl
8-8.4 g/dl
6.5-7.9 g/dl
<6 .5="" dl="" g="" span="">6>
|
|
2.2
Etiologi
Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang
disebabkan oleh bermacam-macam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan karena
:
2.2.1 Gangguan pembentukan eritrosit yang dapat terjadi
karena:
a.
Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemia defisiensi Fe, Thalasemia,
dan anemia infeksi kronik
b.
Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien yang dapat menimbulkan
anemia pernisiosa dan anemia asam folat
c.
Fungsi sel induk (stem sel) terganggu, sehingga dapat menimbulkan anemia
aplastik dan leukemia
d.
Infiltrasi sumsum tulang, misalnya, karena karsinoma
2.2.2 Kehilangan darah
a.
Akut karena perdarahan atau trauma/kecelakaan yang terjadi secara mendadak
b.
Kronis karena perdarahan pada
saluran cerna atau menorhagia
2.2.3 Meningkatnya pemecahan eritrosit (hemolisis). Hemolisis
dapat terjadi karena:
a.
Faktor bawaan, misalnya : kekurangan enzim G6PD (untuk mencegah kerusakan
eritrosit)
b.
Faktor yang didapat, yaitu adanya bahan yang dapat merusak eritrosit,
misalnya ureum pada darah karena gangguan ginjal atau penggunaan obat acetosal
2.2.4 Bahan baku untuk pembentuk eritrosit tidak ada.
Bahan baku yang dimaksud adalah protein,
asam folat, vitamin B12, dan mineral Fe (Nursalam, 2005:124).
2.3
Klasifikasi
2.3.1
Anemia
Pascaperdarahan
Terjadi sebagai akibat perdarahan
yang masif seperti kecelakaan, operasi dan persalinan dengan perdarahan, atau
perdarahan yang menahun seperti pada penyakit cacingan. Akibat kehilangan darah yang
cepat, terjadi refleks kardiovaskuler yang fisiologis berupa konstraksi
arteriol, pengurangan aliran darah atau komponennya ke organ tubuh yang kurang
vital (anggota gerak, ginjal, dan sebagainya) dan penambahan aliran darah ke
organ vital (otak dan jantung). Kehilangan darah yang mendadak lebih berbahaya dibandingkan dengan
kehilangan darah dalam waktu lama.
Gejala yang timbul tergantung
dari cepat dan banyaknya darah yang hilang dan apakah tubuh masih dapat
mengadakan kompensasi. Kehilangan darah sebanyak 12-15 % akan memperlihatkan
gejala pucat, takikardia, tekanan darah
normal atau rendah. Kehilangan darah sebanyak 15-20 % akan mengakibatkan
tekanan darah menurun dan dapat terjadi renjatan yang masih reversible pada
organ vital otak dan jantung. Kehilangan yang lebih dari 20 % akan menimbulkan
renjatan yang irreversible dengan angka kematian tinggi. (Ngastiyah, 2005 :
328) .
Nilai normal tanda-tanda vital
berdasarkan usia pada anak
Usia
|
Nadi (kali/menit)
|
Tekanan Darah Sistolik
(mmHg)
|
Pernapasan(kali/menit)
|
Baru Lahir (0-1 bulan)
|
120-160
|
50-70
|
40-60
|
Bayi (1 bulan -1 tahun)
|
100-160
|
70-95
|
30-60
|
Bawah tiga tahun(1-3 tahun)
|
90-150
|
80-100
|
24-40
|
Prasekolah (4-5 tahun)
|
80-140
|
80-100
|
22-34
|
Anak-anak (5- 12 tahun)
|
70-120)
|
80-110
|
18-30
|
Sumber : Marilyn Jackson dan Lee Jackson, 2009,
Seri Panduan Praktis Keperawatan Klinis hal 12. Jakarta: Erlangga
2.3.2 Anemia Defisiensi Zat Besi ( Fe )
Merupakan anemia yang terjadi karena kekurangan zat besi yang
merupakan bahan baku pembuat sel darah dan hemoglobin. Klasifikasi anemia defisiensi :
1.
Mikrositik hipokromik. Terjadi
akibat kekurangan zat besi, piridoksin atau tembaga
2.
Makrositik normokromik
(megaloblastik). Terjadi akibat kekurangan asam folat dan vitamin B12
Kekurangan
zat besi ( Fe ) dapat disebabkan berbagai
hal, yaitu:
2.3.2.1
asupan yang kurang mengandung zat besi terutama pada fase
pertumbuhan cepat.
2.3.2.2 penurunan reasorbsi karena kelainan pada usus atau karena anak banyak
mengkonsumsi teh (menurut penelitian, ternyata teh dapat menghambat
reabsorbsi Fe)
2.3.2.3 kebutuhan yang meningkat, misalnya pada anak balita
yang pertumbuhannya cepat
sehingga memerlukan nutrisi yang lebih banyak.
Bayi prematur juga beresiko
mengalami anemia defisiensi zat besi karena berkurangnya persediaan Fe pada
masa fetus. Pada trimester akhir kehamilan, Fe ditransfer dari ibu ke fetus,
kemudian di simpan di liver, lien, dan sumsum tulang belakang. Cadangan Fe ini hanya
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
bayi sampai usia 5-6 bulan saja, bahkan pada bayi prematur cadangan tersebut
cukup sampai usia 2-3 bulan. Jika kebutuhan Fe tidak dipasok dengan pemberian
nutrisi yang cukup maka anak akan mengalami defisiensi Fe (Nursalam, 2005:125).
Sumber makanan yang mengandung Zat Besi
No
|
Bahan Makanan
|
Zat Besi (mg/100 g)
|
1
|
Hati
|
6,0 sampai 14,0
|
2
|
Daging
Sapi
|
2,0
sampai 4,3
|
3
|
Ikan
|
0,5
sampai 1,0
|
4
|
Telur
Ayam
|
2,0
sampai 3,0
|
5
|
Kacang-kacangan
|
1,9 sampai
14,0
|
6
|
Tepung
Gandum
|
1,5
sampai 7,0
|
7
|
Sayuran
Hijau Daun
|
0,4
sampai 18,0
|
8
|
Umbi-umbian
|
0,3
sampai 2,0
|
9
|
Buah-buahan
|
0,2
Sampai 4,0
|
10
|
Beras
|
0,5
sampai 0,8
|
11
|
Susu Sapi
|
0,1 sampai 0,4
|
Sumber : Davidson, dkk, 1973 dalam
Husaini, 1989
2.3.3 Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan karena terjadinya
penghancuran sel darah merah (eritrosit) yang disebut dengan hemolisis
dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit pendek. Umur eritrosit ialah
100-120 hari. Penyebab hemolitik dapat terjadi karena faktor
kongenital atau bawaan dari lahir yaitu :
a.
kekurangan enzim G6PD (Glucose-6-Phosphate-Dehidrogenase)
Defisiensi G6PD diturunkan secara
dominan melalui kromosom X. Kelainan ini sering ditemukan pada bayi baru lahir
yang ikhterus. Gunanya untuk mencegah kerusakan eritrosit.
b.
hemoglobinopati, hemoglobin
orang dewasa normal terdiri dari HbA yang merupakan 98 % dari seluruh hemoglobin.
HbA 2 tidak lebih dari 2 % dan HbF tidak lebih dari 3 %. Pada bayi baru lahir
HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobin yaitu 95 %, kemudian pada
perkembangan selanjutnya konsentrasi HbF akan menurun sehingga pada umur 1
tahun telah mencapai keadaan normal. Pada kelainan hemoglobin ini terdapat 2
jenis ialah :
1.
Gangguan struktural
pembentukan hemoglobin ( hemoglobin yang abnormal) seperti pada HbS, HbF, dan
lainnya.
2.
Gangguan jumlah rantai
hemoglobin. Seperti pada thalasemia (Ngastiyah, 2005 : 331).
2.3.4 Anemia Aplastik
Anemia
aplastik diakibatkan oleh karena rusaknya sumsum tulang. Gangguan berupa
berkurangnya sel darah dalam darah tepi sebagai akibat terhentinya
pembentukan sel hemopoetik
dalam sumsum tulang. Aplasia dapat terjadi hanya pada satu, dua atau ketiga
sistem hemopoetik (eritropoetik, granulopoetik, dan trombopoetik).
Aplasia yang hanya mengenai
sistem eritropoetik disebut eritroblastopenia (anemia hipoplastik) ; yang
mengenai sistem granulopoetik yang disebut agranulosistosis (penyakit Schultz)
; dan yang mengenai trombopoeitik disebut amegakariositik trombositopenik
purpura (ATP). Bila mengenai ketiga sistem tersebut disebut panmieoloptisis
atau lazimnya disebut anemia aplastik. (Ngastiyah, 2005:332)
Ada
beberapa penyebab terjadinya anemia aplastik
diantaranya:
2.3.4.1 Menurunnya jumlah sel induk yang merupakan
bahan dasar sel darah, penurunan sel induk bisa terjadi
karena bawaan dalam arti tidak jelas penyebabnya ( idiopatik ), yang dialami oleh sekitar 50 % penderita. Salah satu faktor kongenital
atau bawaan adalah sindrom Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain
seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal, dan sebagainya.
Selain karena faktor bawaan, anemia aplastik dapat terjadi karena faktor
didapat seperti dampak bahan kimia :
benzen, insektisida, senyawa As, Au, Pb, obat : Kloramfenikol, mesantoin
(antikonvulsan), piribenzamin (antihistamin), santonin kalomel, obat sitostatika
(myeleran, methrotrexate, TEM, vincristine, rubidomycine dan
sebagainya),Radiasi : sinar rontgen, radioaktif, Faktor individu : alergi terhadap obat, bahan
kimia dan sebagainya , Infeksi, keganasan, gangguan endokrin dan sebagainya.
Idiopatik, sering ditemukan.
2.3.4.2
Lingkungan mikro, seperti radiasi dan kemoterapi yang lama dapat
mengakibatkan sembab yang fibrinus dan infiltrasi sel.
2.3.4.3 Penurunan poitin, sehingga yang berfungsi
merangsang tumbuhnya sel- sel darah
dalam sumsum tulang tidak ada.
2.3.4.4
Adanya sel inhibitor (T.Limphosit) sehingga menekan/menghambat maturasi
sel-sel induk pada sumsum tulang. (Nursalam, 2005: 127)
Prognosis anemia aplastik
1.
Sesuai dengan gambaran sumsum
tulang
2.
Jika kadar HbF lebih dari 200
mg/dl, dan jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan
prognosis yang lebih baik. (Ngastiyah, 2005:332)
Nilai normal sel darah pada
anak 0-12 tahun
Jenis sel darah
|
Usia
|
Bayi Baru Lahir
|
1 Tahun
|
5 Tahun
|
8-12 Tahun
|
Eritrosit (juta/mikro
lt)
|
5,9 (4,1-7,5)
|
4,6 (4,1-5,1)
|
4,7 (4,2-5,2)
|
5 (4,5-5,4)
|
Hb (gr/dl)
|
19 (14-24)
|
12 (11-15)
|
13,5 (12,5-15)
|
14 (13-15,5)
|
Leukosit (per
mikro lt)
|
17.000 (8-38)
|
10.000 (5-15)
|
8.000 (5-13)
|
8000 (5-12)
|
Trombosit (per
mikri lt)
|
200.000
|
260.000
|
260.000
|
260.000
|
Hematokrit (%)
|
54
|
36
|
38
|
40
|
Sumber : Essential
of pediatrics Nursing, Wong (2000)
2.4 Patofisiologi
2.5 Gejala Klinik
2.5.1 Manifestasi klinis pada anemia:
2.5.1.1 Anemia
pasca perdarahan
a. Pucat
b. Transpirasi
c. Takikardi
d. Tekanan
darah menurun
e. syock
2.5.1.2
Anemia Defisiensi zat Besi (Fe):
a.
Lemas,
b.
pucat yang tampak pada daerah mukosa bibir, faring, telapak tangan, dasar kuku, konjungtiva okuler berwarna kebiruan atau putih mutiara (pearly
white),
c.
cepat lelah,
d.
sakit kepala,
e.
Papil lidah atrofi : lidah tampak pucat, licin,
mengkilat, merah, meradang dan sakit,
f.
Jantung agak membesar dan terdengar murmur sistolik,
g.
Tidak ada
pembesaran limfa dan hepar
h.
Pada anak MEP
dengan cacingan (ankilostomiasis) akan terlihat perutnya buncit yang disebut
potbellt dan dapat edema.
i.
Pada anak MEP
berat dapat ditemukan hepatomegali dan diatesis hemoragic.
2.5.2.3
Anemia hemolitik:
a.
Limpa
membesar
b.
Kelainan
tulang rangka akibat hiperplasia sumsum tulang
2.5.2.4 Anemia
aplastik
a.
Hb menurun
b.
Hematokrit
menurun
c.
Eritrosit
menurun
d.
Pucat
e.
Sesak napas
f.
Anoreksia
g.
Tidak
ditemukan ikhterus
h.
Tidak
ditemukan pembesaran limfa, hepar, maupun kelenjar getah bening
i.
Peningkatan
suhu tubuh
j.
Limfositosis
(Ngastiyah, 2005:330)
2.6 Pemeriksaan
Penunjang
Uji Laboratorium
dan Diagnostik
2.6.1 Anemia aplastik
a. Hitung darah lengkap disertai diferensial-anemia
makrositik; penurunan granulosit, monosit, dan limfosit
b. Jumlah trombosit-menurun
c. Jumlah retikulosit-menurun
d. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang-hiposeluler
e. Elektroforesis hemoglobin-kadar hemoglobin janin
meningkat
f. Titer antigen sel darah merah-naik
g. Uji gula air-positif
h. Uji Ham-positif
i. Kadar folat dan B12 serum-normal atau
meningkat
j. Uji kerusakan kromosom- positif untuk anemia Fanconi
(Keperawatan
Pediatri, 2002 : 10)
2.6.2 Anemia
Defisiensi Zat Besi
a. Kadar
Porfirin eritrosit bebas-meningkat
b. Konsentrasi
besi serum-menurun
c. Saturasi
transferin-menurun
d. Konsentrasi
feritin serum-menurun
e. Hemoglobin-menurun
f. Rasio
hemoglobin-porfirin eritrosit-lebih dari 2,8 µg/g adalah diagnostik untuk
defisiensi besi
g. Mean
corpuscle volume (MCV) dan Mean corpuscle hemoglobin concentration
(MCHC)-menurun, menyebabkan anemia hipokrom mikrositik ata sel-sel darah merah
yang kecil-kecil dan pucat (Keperawatan Pediatri, 2002:265)
2.7
Komplikasi
2.7.1 Anemia
aplastik
a. Sepsis
b. Sensitisasi
terhadap antigen donor yang bereaksi silang menyebabkan perdarahan yang tidak
terkendali
c. Cangkokan
vs penyakit hospes (timbul setelah pencangkokan sumsum tulang)
d. Kegagalan
cangkok sumsum (terjadi setelah transplantasi sumsum tulang)
e. Leukemia
mielogen akut-berhubungan dengan anemia Fanconi
2.7.2
Anemia Defisiensi Zat Besi
a. Perkembangan
otot buruk (jangka panjang)
b. Daya
konsentrasi menurun
c. Hasil
uji perkembangan menurun
d. Kemampuan
mengolah informasi yang didengar menurun
2.8 Penatalaksanaan
Medis
2.8.1 Anemia pascaperdarahan
Dengan memberikan
transfusi darah. Pilihan kedua plasma (plasma
expanders atau plasma substitute).
Dalam keadaan darurat diberikan cairan intravena dengan cairan infus apa saja
yang tersedia (Ngastiyah, 2005:329).
2.8.2 Anemia Defesiensi zat besi
Untuk
pengobatan ditujukan pada pencegahan dan intervensi. Pencegahan tersebut
mencakup menganjurkan ibu-ibu untuk memberikan ASI, makan makanan kaya zat
besi. Terapi untuk mengatasi anemia defesiensi zat besi terdiri dari program
pengobatan berikut. Zat besi diberikan per oral (po) dalam dosis 2-3 mg/kg
unsur besi. Semua bentuk zat besi sama efektifnya (fero sulfat, fero fumarat, fero suksinat,
fero glukonat. Vitamin C harus diberikan bersama dengan besi (vitamin C meningkatkan
absorbsi besi). Zat besi paling baik diserap bila diminum 1 jam sebelum makan.
Terapi besi hendaknya diberikan sekurang-kurangnya selama 6 minggu setelah
anemia dikoreksi untuk mengisi kembali cadangan besi. Zat besi yang disuntikkan
jarang dipakai lagi kecuali terdapat penyakit malabsorbsi usus halus
(Keperawatan Pediatri, 2002 : 266 ).
2.8.3 Anemia hemolitik
a.
Prednison
dan testesteron. Prednison, dosis 2-5 mg/kgBB/hari per
oral; testosteron dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari secara perenteral. Akhir-akhir ini testosteron diganti dengan oksimetolon yang mempunyai
daya anabolik dan meransang sistem hemopoeitik lebih kuat; dosis diberikan 1-2
mg/kgBB/hari per oral. Hendaknya memperhatikan fungsi hati.Pengobatan dapat
berlansung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Jika terdapat remisi dosis
dikurangi separuhnya dan jumlah sel darah diawasi setiap minggu. Bila
kemudian terjadi relaps, dosis obat
harus diberikan penuh lagi.
b.
Transfusi darah. Diberikan jika diperlukan
saja, karena pemberian transfusi darah terlampau sering akan menimbulkan
depresi sumsum tulang atau akan menimbulkan reaksi hemolitik sebagai akibat
dibentuknya antibodi terhadap sel-sel darah tersebut.
c.
Pengobatan terhadap infeksi sekunder. Untuk
mencegah infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalam ruangan yang suci hama.
Pemberian obat antibiotika dipilih yang ridak menyebabkan depresi sumsum
tulang. Kloramfenikol tidak boleh diberikan.
d.
Makanan. Makanan umumnya diberikan dalam
bentuk lunak. Bila terpaksa diberikan melalui pipa lambung harus hati-hati
karena dapat menimbulkan luka/perdarahan
pada waktu memasukkan pipanya.
e.
Istirahat. Untuk mencegah perdarahan
terutama pada otak. Untuk mencegah perdarahan terutama pada otak (Ngastiyah, 2005:333).
2.8.4 Anemia aplastik
Pilihan
utama pengobatan anemia aplastik adalah transplantasi sumsum tulang dengan
donor saudara kandung, yang antigen limfosit manusianya (HLA) sesuai. Pada
lebih 70 % kasus tidak ada kesesuaian dari saudara kandung. Akan tetapi,
terdapat kemungkinan kesesuaian yang
makin besar antara orang tua dan anaknya yang menderita anemia aplastik. Jika
ingin melakukan transplantasi sumsum tulang, pemeriksaan HLA keluarga harus
segera dilakukan dan produk darah harus sedikit mungkin digunakan untuk
menghindari terjadinya sensitisasi. Untuk menghindari sensitisasi, darah
hendaknya juga jangan didonasi oleh keluarga anak. Produk darah harus selalu
diradiasi dan disaring untuk menghilangkan sel-sel darah putih yang ada,
sebelum diberikan pada anak yang menjadi calon penerimatransplantasi sumsum
tulang.
Imunoterapi dengan globulin antitimosit (ATG) atau globulin antilimfosit
(ALG) adalah terapi primer bagi anak yang bukan calon untuk transplantasi
sumsum tulang. Anak itu akan berespon dalam 3 bulan atau tidak sama sekali
terhadap terapi ini. Siklosporin A juga merupakan imunosupresan efektif yang
dapat dipakai dalam pengobatan anemia aplastik. Androgen jarang dipakai kecuali
tidak ada obat lain tersedia.
Terapi penunjang mencakup pemakaian
antibiotika dan pemberian produk darah. Antibiotika dipakai untuk mengatasi
demam dan neutropenia ; antibiotika profilaktif tidak diindikasikan untuk anak
yang asimptomatik. Produk darah yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1.
Trombosit- untuk mempertahankan jumlah trombosit
diatas 20.000 per mm3. Pakai feresis trombosit donor tunggal untuk
menurunkan jumlah antigen limfosit manusia yang terpajan pada anak itu.
2.
Packed red blood cells- untuk
mempertahankan kadar hemoglobin di atas g/dl (anemia kronik sering ditoleransi
dengan baik). Untuk jangka panjang, pakai deferoksamin sebagai agens pengikat
ion logam untuk mencegah komplikasi kelebihan besi.
3.
Granulosit-ditransfusi ke pasien yang
menderita sepsis gram negatif
(
Keperawatan pediatri, 2002: 11)
program
terapi , prinsipnya:
1) Tergantung
pada berat ringannya anemi , etiologi , akut atau kronik.
2) Tidak
selalu berupa transfuse darah.
3) Menghilangkan penyebab dan
mengurangi gejala.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1
Pengkajian
Pada
pengkajian ini penulis tidak membahas secara khusus asuhan untuk masing masing
jenis anemia.
Untuk itu akan dikaji data focus yang
umum nya sering terjadi pada bayi dan balita yang mengalami anemia terutama defisiensi.
1. Usia
Anak
yang mengalami defisiensi fe biasanya berusia antara 6-24 bulan dan pada masa
pubertas. Pada usia tersebut kebutuhan fe cukup tinggi , karena digunakan untuk perubahan yang
terjadi relative cepat dibandingkan dengan periode pertumbuhan lainnya (wong, 1991).
2. Pucat
1). Pada anemia pasca perdarahan ,
kehilangan darah sekitar
12-15% akan menyebabkan pucat dan takikardi. Kehilangan
darah yang cepat dapat menimbulkan reflek cardiovaskuler secara fisiologis
berupa kontraksi arterial, penambahan aliran darah ke organ vital , dan
pengurangan aliran darah yang kurang vital , seperti ekstremitas.
2). Pada defisiensi zat besi
maupun asam folat (pernisiosa ), pucat
terjadi karena tidak tercukupinya bahan baku pembuat sel darah maupun bahan
esensial untuk pematangan sel, dalam
hal ini zat besi dan asam folat.
3) Anemia hemolistik terjadi
karena penghancuran sel darah merah sebelum waktunya secara normal , sel darah
merah akan hancur dalam waktu 120 hari , untuk selanjutnya membentuk sel
darah baru.
4).Anemia aplastik , pucat
terjadi karena terhentinya pembentukan sel darah pada sumsum tulang. Hal ini
terjadi karena sumsum tulang mengalami kerusakan.
Warna
pucat pada kulit ini dialami oleh hampir
semua anak yang anemia. Warna pucat ini terletak
pada telapak tangan , dasar kuku , konjungtiva , dan pada mukosa bibir.
Cara yang sederhana adalah dengan membandingkan telapak tangan anak dengan
telapak tangan petugas atau orang tua. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa
telapak tangan pembanding haruslah normal.
3. Mudah lelah/lemah
Berkurangnya
kadar oksigen dalam tubuh
mengakibatkan keterbatasan energi
yang dihasilkan oleh tubuh, sehingga anak kelihatan lesu , kurang bergairah ,
dan mudah lelah. Oksigen
yang terikat dengan Hb pada sel darah merah mempunyai salah satu fungsi untuk
aktivitas tubuh.
4. Pusing kepala
Pusing kepala pada anak
anemia disebabkan karena pasokan
atau aliran darah ke otak berkurang.
5. Nafas pendek
Rendahnya
kadar Hb akan menurunkan kadar oksigen , karena Hb merupakan pembawa oksigen.
Oleh karena itu , sebagai kompensasi atas kekurangan oksigen tersebut ,
pernafasan menjadi lebih cepat dan pendek .
6. Nadi cepat
Peningkatan
denyut nadi sering
terjadi terutama pada perdarahan mendadak yang merupakan kompensasi dari
reflek kardiovaskuler. Kompensasi
peningkatan denyut nadi ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.
7. Gangguan eliminasi urine kadang
–kadang terjadi penurunan produksi urine
Adanya
perdarahan yang hebat dapat menurunkan aliran darah ke ginjal sehingga
merangsang hormone renin angiotensin active untuk menahan garam dan air sebagai
kompensasi anak untuk memperbaiki perfusi dengan manifestasi penurunan produksi
urine.
8. Gangguan pada sistem saraf
Anemia defisiensi vitamin B12
dapat menimbulkan gangguan pada system saraf sehingga timbul keluhan seperti
kesemutan (Gringginen), ekskremitas lemah , spastisitas , dan gangguan
melangkah.
9. Gangguan saluran cerna
Pada
anemia yang berat , sering
timbul karena nyeri perut , mual, muntah, dan penurunan nafsu makan (anoreksia).
10. Pika
Merupakan
suatu keadaan yang berulang karena anak makan zat yang tidak bergizi tanpa gangguan jiwa atau
fisik. Sering terjadi pada anak
berusia 1-4 tahun yang kurang zat gizi ,
anak terlantar , anak
yang mengalami retardasi mental , dan kurang pengawasan. Zat yang sering dimakan misalnya zat kapur, kertas, dan lain-lain. Pika
akan menghilang , bila anak
mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup atau sudah teratasi masalah anemianya.
11. Iritable (cengeng , rewel , aau
mudah tersinggung )
Kasus
ini sering terjadi pada anemia defisiensi besi, walaupun anak tersebut telah terpenuhi kebutuhan seperrti minum dan makan , tetapi anak tetap
rewel. Apabila sebelumnya anak
rewel kemudian setelah diberi minum
atau makan menjadi diam , maka hal ini
tidak termasuk cengeng (Iritable).
12. Suhu tubuh meningkat
Diduga
terjadi sebagai akibat dari dikeluarkan leukosit dari jaringan iskemik
(jaringan yang mati akibat kekurangan oksigen).
3.2
Diagnosa Keperawatan
a.
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakadekuatan masukan besi
yang dilaporkan; kurang pengetahuan mengenai makanan yang diperkaya dengan besi.
b.
Intoleransi
aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum, penurunan pengiriman oksigen ke
jaringan
c.
Ansietas/takut
berhubungan dengan prosedur diagnostik/transfusi
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Anemia adalah
berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1 mm3 darah atau
berkurangnya volume sel yang didapatkan
(packed red cells volume)
dalam 100 ml darah (Ngastia,2005:359).Anemia disebabkan karena hemolisis (eritrosit mudah rusak), Perdarahan, Penekanan sumsum tulang (misalnya, kanker), Defisiensi nutrisi (anemia gizi), termasuk kekurangan zat besi, asam
folat,vitamin C. Jenis anemia adalah anemia pascaperdarahan, anemia aplastik, anemia
megaloblastik, anemia, anemia defisiensi zat besi. Penanganan yang dilakukan
orang tua terhadap anak yang menderita anemia adalah memberikan makanan yang
banyak mengandung sumber zat besi, antara lain daging legum, kacang, gandum,
sereal bayi yang diperkaya dengan besi dan sereal kering. Sementara itu pada
anak-anak yang menderita anemia berat, orang tua harus segera membawa anaknya
ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan medis selanjutnya.
4.2 Saran
Dengan memiliki pengetahuan mengenai
konsep anemia diharapkan orang tua dapat memberikan makanan yang banyak
mengandung sumber zat besi pada anak antara lain
daging legum, kacang, gandum, sereal bayi yang diperkaya dengan besi dan
sereal kering untuk mencukupi kebutuhan zat besi anak.
Diharapkan tenaga kesehatan terutama perawat dapat memberikan asuhan
keperawatan yang profesional pada anak yang menderita anemia sehingga kasus
anemia berkurang pada anak-anak
Daftar
Pustaka
Aziz Alimul
Hidayat, 2009, Pengantar Ilmu Keperawatan
Anak, Salemba Medika. Jakarta
Cecily, Linda
A.2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3.Jakarta:EGC
FKUI 1997, Ilmu
Kesehatan Anak Volume I, EGC. Jakarta
Nelson 2000, Ilmu
Kesehatan Anak, EGC. Jakarta
Ngastiah
1997, Ilmu Keperawatan Anak, EGC.
Jakarta
Ngastiah, 2005, Perawatan Anak Sakit, EGC. Jakarta
Nursalam, 2005, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk
Perawat dan Bidan), Salemba Medika. Jakarta
Wong, Donna L. 2002. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Ed. 6, Vol.
1. Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.
Jakarta: EGC