Minggu, 29 Desember 2013

IQ, EQ, dan SQ dalam dunia pendidikan



IQ, EQ, dan SQ dalam dunia pendidikan
kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Pengertian IQ ( Intelligence Quotient)
Kecerdasan Intellegensi secara keseluruhan ialah kemampuan seorang individu untuk menganalisa,memakai logikanya dan rasionya dalam bertindak dan berfikir. Kecerdasan untuk memaknai masalah dengan lebih rasional, logis tidak hanya mementingkan emosi sesaaat.
Pengertian EQ ( Emotional Quotient)
Kecerdasan EQ adalah kecerdasan seseorang untuk mengenali, merasakan, memahami perasaaannya sendiri dengan baik, serta dapat mengelola dan mengekspresikan emosinya dengan baik pula dan secara efektif menerapkan kepekaan emosi sebagai sumber energi yang dapat ia kontrol .
Pengertian SQ (Spiritual Quotient)
Kecerdasan spriritual yang sering disebut dengan SQ adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kita dan Yang meciptakan kita. kecerdasan untuk menghadapi berbagai masalah/persoalan tanpa ia perlu menyalahkan keadaan atau orang-orang disekelingnya, mampu melihat dari berbagai sisi permasalahan, dan memaknai hal-hal tersebut dengan cara yang positif bukan malah sebaliknya, serta bagaimana ia memotivasi dirinya sendiri untuk dapat berlaku lebih baik daripada sebelumnya.
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ)menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?
Layaknya seseorang yang mengandalkan kecerdasan intelektual, tentu bisa saja dia bisa paling ahli dalam semua ilmu, hingga ilmu yang paling mendalam, layaknya seseorang dengan kecerdasan emotional tentu saja dia akan berpikir sebelum bertindak, dengan mengutamakan perasaannya, sebagaimana bawahan ke atasan, teman sebaya yang saling menghargai arti persahabatan, dan dengan demikian dia akan disenangi semua orang. Dan layaknya kecerdasan spiritual tidak terlepas dari siapa yang Maha Agung penciptanya, yang memberikan semua yang dia miliki sekarang, dengan memiliki kecerdasa spiritual tentu saja dia akan banyak bersyukur, tanpa mengabaikan Maha Pencipta.
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : “BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS ! ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar